Polemik PKPU PT Pelayaran Samudera Rizqi
- 11 Views
- redaksivoyagers
- 29 April 2025
- Bisnis Industri
Voyagers.id – Proses hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan PT Orela terhadap PT Pelayaran Samudera Rizqi (PSR) menyisakan sejumlah pertanyaan serius. Di balik permohonan utang tersebut, mencuat dugaan manipulasi hukum yang melibatkan mantan pengurus perusahaan dan kuasa hukumnya.
Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025), mengungkap bahwa perkara ini bukan sekadar sengketa piutang, melainkan memuat lapisan intrik internal, potensi konflik kepentingan, hingga indikasi pelanggaran prinsip dasar tata kelola perusahaan.“Ini bukan semata perkara utang. Ini menyangkut integritas dan masa depan dunia usaha,” ujar Komisaris PSR, Rita Hendrawaty, dalam pernyataannya usai sidang. Permohonan PKPU berawal dari klaim peminjaman airbag untuk salvage kapal milik PSR. Namun, menurut kubu PSR, tak pernah ada perjanjian kerja sama resmi antara kedua belah pihak. “Tidak ada kontrak, tidak ada pengakuan utang yang sah,” kata Rita.
Di tengah proses sidang, terungkap pula adanya komunikasi dari kuasa hukum mantan direksi PSR yang diduga mendorong pihak luar untuk mengajukan PKPU terhadap perusahaan. Dugaan ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut: apakah proses ini murni penyelesaian utang, atau justru sarana untuk melemahkan perusahaan dari dalam?
Ketegangan di tubuh PSR kian memanas pasca Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) awal tahun ini. RUPS tersebut secara sah memberhentikan seluruh jajaran direksi lama tanpa memberikan acquit et de charge—artinya, mereka masih bertanggung jawab secara hukum atas tindakan selama menjabat.
“Sejak perubahan pengurus, justru mulai bermunculan klaim utang dari pihak-pihak yang berafiliasi dengan direksi lama,” ungkap Rudi Rusmadi, pemegang saham PSR melalui PT Kemala Permanik dan PT Pelayaran Samudera Logistindo. Menurut Rudi, mekanisme PKPU kini digunakan bukan untuk restrukturisasi, tetapi sebagai alat untuk mengacaukan arah perusahaan. Tudingan paling serius diarahkan kepada kuasa hukum yang pernah mewakili PSR. Rudi menyebut, advokat tersebut justru aktif mendekati pihak luar untuk mengajukan PKPU terhadap perusahaan yang dahulu menjadi kliennya.
Pakar hukum korporasi yang juga menjadi kuasa hukum PSR, Nelson Kopoyos S.H., M.H, menilai, jika benar, tindakan tersebut melanggar prinsip fiduciary duty, yakni kewajiban hukum seorang pengurus dan penasihat hukum untuk bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan.
Rita Hendrawaty mengingatkan, penyalahgunaan instrumen hukum seperti PKPU dapat menjadi preseden buruk bagi dunia usaha di Indonesia. Ia khawatir, jika kecenderungan ini terus berlangsung, investor akan makin meragukan kepastian hukum di Indonesia. “PKPU seharusnya menjadi jalan keluar keuangan, bukan alat sabotase bisnis,” katanya. Ia berharap majelis hakim mampu melihat secara jernih perkara ini—memilah mana sengketa yang murni, dan mana yang sarat rekayasa.
Sidang masih akan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan. Apa pun hasilnya, perkara ini akan menjadi cermin penting tentang bagaimana hukum bisnis ditegakkan—dan seberapa jauh bisa dimanipulasi.
Kategori
- Bisnis
- CSR
- E-Commerce
- Ekspedisi
- Elektronik
- Event
- Fashion
- Film
- Gaya Hidup
- Hiburan
- Hotel
- Hotel Update
- Industri
- Inspirasi
- Kabar Pariwisata
- Kecantikan
- Kesehatan
- Kuliner
- Musik
- Olahraga
- Otomotif
- Pariwisata
- Perbankan
- Pertambangan
- Piala Eropa
- Profil Hotel
- Promo Hotel
- Properti
- Retail
- Sepak Bola
- Tekno
- Telekomunikasi
- Transportasi
- Voyagers English